Kamis, 24 November 2011

Biduk bertaburkan serpihan

Sudah lah bila harus terjadi kisah ini, maka biarkan itu semua terjadi. Dan bila semua harus ku tanggung derita di dunia ini ku kan tetap berusaha berjalan sebagaimana mestinya, tetap berpikir yang terjadi adalah yang terbaik bagi ku.

biduk-tuaBukannya berarti aku tak berusaha sebaik mungkin, mungkin ini suatu tanda kebesaranNya. Ku terima dengan diam atas semua itu dan berbicara yang ada saat ini dan merencanakan yang akan datang, walau pun segala cobaan seringkali membuatku tak menyadarkan hati dan pikiran. Membuatku terperosok lebih jauh akan dekadensi dan akal sehat ku melayang ke angkasa, kubiarkan ia terbang tanpa arah yang pasti dan jelas.

Hingga ia singgah ke kubangan yang kotor bercampur debu, setelah ia tak sanggup lagi berdiri tegak. Memusnahkan kepercayaan  yang ada, langit hitam terbentuk meneteskan derai air mata di pipi dan kalbu mu. Usai sudah kepercayaan yang ada kepada ku seiring rintik jatuh meninggalkan lekukan di tanah mengering.

Sepertinya kata ini tak lagi bermakna dan tanpa arti, hanya suara air yang mengalir pada sungai itu membawa pesan biru.

OmbakKembali menghanyutkan satu sisi ke lembah kenistaan, namun di satu sisi kucoba tambatkan di lembah keagunganNya. Sauh yang telah ku lepaskan ke dasar laut tak mampu hentikan semua itu, ada sesuatu yang lebih besar kekuatannya di suatu tempat disana. Terhempas riak gelombang yang bergulung-gulung, menggulung aku yang duduk diatas biduk.

Biduk bertaburkan serpihan kayu menggores kulit ini, mengucurkan darah segar. Suara yang tak berarti kini tinggal untaian kata ku menggema di mesin itu. Hujan pun tak henti-hentinya turun menggigilkan seluruh tubuh, menghunjam di palung hati.

Sepotong kain yang melekat di badan tak mampu halangi dinginnya, begitu keras dan kuat ia mendekap. Hingga aku terdampar di bebatuan itu yang telah berlumut dan berjamur, sendiri dan menyepi. Hanya terdengar suara ombak yang menerpa sisian batu di tempat ku labuhkan lelah agar ku bisa lanjutkan perjalanan menuju dermaga persinggahan ku, bersama gelak tawa dan derai air mata.

Masih jauh aku dari dermaga itu, masih jauh pula perjalananku hingga merapat ke sisian dermaga. Membawa beban indah di pundak, yang memikat hati ku menyelamatkan aku walaupun sempat ku buatkan biduk sederhana dari sisa kayu yang ada yang hanya bisa untuk mu dan dia. Hanya untuk kau dan dia yang sampai ke dermaga keindahan, namun kalian tak rela hingga ia yang rela dalam senyum dan tangis di biduk ini tuk aku dan kau bisa berlabuh.

Namun kini biduk sederhana itu hancur berkeping-keping, memberi kesan dan pesan kebiruan layaknya biru lautan yang ada.

2 komentar: